welcome

Just read and THINK about it...!

Senin, 18 Juni 2012

SUPPLY AND DEMAND


SUPPLY AND DEMAND
ARIEF PERDANA KUSUMAH
D62110265
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

SARI
Teori penawaran dan permintaan dalam ilmu ekonomi, adalah penggambarkan atas hubungan di pasar, antara para calon pembeli dan penjual dari suatu barang. Model penawaran dan permintaan digunakan untuk menentukan harga dan kuantitas yang terjual di pasar. Model ini sangat penting untuk melakukan analisis ekonomi mikro terhadap perilaku serta interaksi para pembeli dan penjual. Ia juga digunakan sebagai titik tolak bagi berbagai model dan teori ekonomi lainnya. Model ini memperkirakan bahwa dalam suatu pasar yang kompetitif, harga akan berfungsi sebagai penyeimbang antara kuantitas yang diminta oleh konsumen dan kuantitas yang ditawarkan oleh produsen, sehingga terciptalah keseimbangan ekonomi antara harga dan kuantitas. Model ini mengakomodasi kemungkian adanya faktor-faktor yang dapat mengubah keseimbangan, yang kemudian akan ditampilkan dalam bentuk terjadinya pergeseran dari permintaan atau penawaran.
ABSTRACT
The theory of supply and demand in economics is a description about relation in the market, between the potential buyers and sellers of a product. Supply and demand models are used to determine the price and quantity sold in the market. This model is very important to do microeconomic analysis of the behavior and interactions of buyers and sellers. It is also used as a starting point for a variety of models and other economic theories. It predicts that in a competitive market, prices will serve as a balance between the quantity demanded by consumers and the quantity supplied by producers, creating economic balance between price and quantity. This model accommodates the possibility of the existence of factors that can change the balance, which will then be displayed in the form of a shift of demand or supply.

KEYWORD : SUPPLY, DEMAND, AND EQUILIBRIUM

A.    PENDAHULUAN
Penawaran adalah jumlah barang atau jasa yang tersedia dan dapat dijual oleh penjual pada berbagai tingkat harga, dan pada waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran:
  • Harga barang itu sendiri.
  • Harga sumber produksi.
  • Tingkat produksi.
  • Ekspektasi/perkiraan.
Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang ingin dan mampu dibeli oleh konsumen, pada berbagai tingkat harga, dan pada waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan :
  • Harga barang itu sendiri.
  • Harga barang lain yang berkaitan.
  • Tingkat pendapatan.
  • Selera konsumen.
  • Ekspektasi/perkiraan.

B.    PERMINTAAN

Permintan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan  tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu.
Beberapa Penentuan Permintaan
Permintaan seseorang atau suatu masyarakat kepada suatu barang ditentukan oleh faktor-faktor,diantaranya :
1. Harga barang itu sendiri (Px)
2. Harga barang lain ( Py)
3. Pendapatan konsumen (Inc)
4. Cita rasa (T)
5. Iklim (S)
6. Jumlah penduduk (Pop)
7. Ramalan masa yang akan datang (F)
·         Hukum Permintaan (the low of demand)
Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu hipotesis yang menyatakan :
“Hubungan antara barang yang diminta dengan harga barang tersebut dimana hubungan berbanding terbalik yaitu ketika harga meningkat atau naik maka jumlah barang yang diminta akan menurun dan sebaliknya apabila harga turun jumlah barang meningkat.
(Qd = F.(Px, Py, Ine,T,S, Pop,F)
·         Kurva Permintaan
Kurva Permintaan dapat didefinisikan sebagai : “Suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang diminta para pembeli.” Kurva permintaan berbagai jenis barang pada umumnya menurun dari kiri ke kanan bawah. Kurva yang demikian disebabkan oleh sifat hubungan antara harga dan jumlah yang diminta yang mempunyai sifat hubungan terbalik.

C.    PENAWARAN

Penawaran adalah banyaknya barang yang ditawarkan oleh penjual pada suatu pasar tertentu, pada periode tertentu, dan pada tingkat harga tertentu. Penentuan – penentuan Penawaran
Keinginan para penjual dalam menawarkan barangnya pada berbagai tingkat harga ditentukan oleh beberapa faktor. Yang tepenting adalah :
1. Harga _ P _ Q
2. Harga barang lain _ Px _ Qy
3. Biaya faktor produksi _ FP _ cost _ π _ Qs
4. Teknologi _ T _ cost _ π _ Qs
5. Tujuan perusahaan
6. Ekspektasi (ramalan)
Secara matematis
Qs = F (Px, Py, Fp, T1 ............... )
·         Hukum Penawaran
Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa : “Semakin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang, semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan.”
·         Kurva Penawaran
Kurva penawaran dapat didefinisikan sebagai : “Yaitu suatu kurva yang menunjukkan hubungan diantara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang ditawarkan”. - Kalau penawaran bertambah diakibatkan oleh faktor-faktor di luar harga, maka supply bergeser ke kiri atas.
- Kalau berkurang kurva supply bergeser ke kiri atas
- Terbentuknya harga pasar ditentukan oleh mekanisme pasar


D.    ELASTISITAS HARGA PERMINTAAN

Elastisitas harga permintaan mengukur seberapa banyak permintaan barang dan jasa (konsumsi) berubah ketika harganya berubah. Elastisitas permintaan ditunjukkan dalam bentuk prosentase perubahan atas kuantitas yang diminta sebagai akibat dari satu persen perubahan harga.
Koefisien Elastisitas Permintaan
Perhitungan koefisien elastisitas permintaan dengan menggunakan metode mid point adalah sebagai berikut :
Ed = % perubahan kuantitas diminta / % perubahan harga,
Atau

Keterangan :
ED = Elastisitas permintaan
Q2 = Kuantitas permintaan setelah perubahan
Q1 = Kuantitas permintaan awal
P2 = Harga setelah perubahan
P1 = Harga awal
Dalam perhitungan koefisien elastisitas ini, angka minus tidak perlu ditulis karena kita telah mengetahui bahwa antara harga dan permintaan berslope negatif. Artinya, kenaikan harga akan menurunkan permintaan, dan sebaliknya (hukum permintaan).
Contoh : Apabila harga es krim naik dari $2 menjadi $2,2 dan jumlah pembelian turun dari 10 batang menjadi 8 batang, maka elastsitas permintaan dihitung sebagai berikut :
Koefisien sebesar 2,32 menunjukkan bahwa perubahan harga sebesar 1 persen akan menimbulkan perubahan permintaan sebesar 2,32 %. Elastisitas permintaan memiliki hubungan negatif (arahnya berbalikan), yaitu ketika harga naik permintaan akan turun, vice versa.
Jenis-jenis Elastisitas Permintaan
Ada lima jenis elastisitas permintaan :
·         Permintaan tidak elastis sempurna : elastisitas = 0.
Perubahan harga tidak mempengaruhi jumlah yang diminta. Dengan demikian, kurvanya berbentuk vertikal. Kurva berbentuk vertikal ini berarti bahwa berapapun harga yang ditawarkan, kuantitas barang/jasa tetap tidak berubah. Contoh barang yang permintaannya tidak elastis sempurna adalah tanah (meskipun harganya naik terus, kuantitas yang tersedia tetap terbatas), lukisan milik pelukis yang telah meninggal (berapapun harga yang ditawar atas lukisan, pelukis tersebut tidak akan mampu menambah kuantitas lukisannya), dan contoh lainnya yang sejenis.
·         Permintaan tidak elastis : elastisitas < 1.
Prosentase perubahan kuantitas permintaan < dari prosentase perubahan harga. Contoh permintaan tidak elastis ini dapat dilihat diantaranya pada produk kebutuhan. Misalnya beras, meskipun harganya naik, orang akan tetap membutuhkan konsumsi beras sebagai makanan pokok. Karenanya, meskipun mungkin dapat dihemat penggunaannya, namun cenderung tidakakan sebesar kenaikan harga yang terjadi. Sebaliknya pula, jika harga beras turun konsumen tidak akan menambah konsumsinya sebesar penurunan harga. Ini karena konsumsi beras memiliki keterbatasan (misalnya rasa kenyang). Contoh lainnya yang sejenis adalah bensin. Jika harga bensin naik, tingkat penurunan penggunaannya biasanya tidak sebesar tingkat kenaikan harganya. Ini karena kita tetap membutuhkan bensin untuk bepergian. Sama halnya, ketika harganya turun, kita juga tidak mungkin bepergian terus menerus demi menikmati penurunan harga tersebut. Karakteristik produk yang seperti ini mengakibatkan permintaan menjadi tidak elastis.
·         Permintaan uniter elastis : elastisitas = 1.
Prosentase perubahan kuantitas permintaan = prosentase perubahan harga. Contoh produk yang elastisitasnya uniter tidak dapat disebutkan secara spesifik. Jenis permintaan ini sebenarnya lebih sebagai pembatas antara permintaan elastis dan tidak elastis, sehingga belum tentu ada produk yang dapat dikatakan memiliki permintaan uniter elastis.

·         Permintaan elastis : elastisitas > 1.
Prosentase perubahan kuantitas permintaan > prosentase perubahan harga. Ini sering terjadi pada produk yang mudah dicari substitusinya. Misalnya saja pakaian, makanan ringan, dan lain sebagainya. Ketika harganya naik, konsumen akan dengan mudah menemukan barang penggantinya.
·         Permintaan elastis sempurna : elastisitas tak terhingga.
Dimana pada suatu harga tertentu pasar sanggup membeli semua barang yang ada di pasar. Namun, kenaikan harga sedikit saja akan menjatuhkan permintaan menjadi 0. Dengan demikian, kurvanya berbentuk horisontal. Contoh produk yang permintaannya bersifat tidak elastis sempurna diantaranya barang/jasa yang bersifat komoditi, yaitu barang/jasa yang memiliki karakteristik dan fungsi sama meskipun dijual di tempat yang berbeda atau diproduksi oleh produsen yang berbeda. Dengan demikian, secara nalar barang/jasa tersebut seharusnya memiliki harga yang sama pula. Misalnya saja paperclip dan pen tinta biasa (seperti pen merek S dan P yang rata-rata berharga 1000-1500). Jika kita pergi ke supermarket untuk membeli paperclip, misalnya, kita cenderung tidak akan memperhatikan perbedaan merek. Satu-satunya yang sering kita jadikan bahan perbandingan adalah harga, dimana kita akan membeli paperclip yang harganya paling murah (atau pada harga rata-rata yang diterima pasar). Akibatnya, bagi perusahaan yang menjual paperclip diatas harga rata-rata, permintaan akan barangnya akan turun ke nol. Ini karena semua paperclip, meskipun harganya berbeda-beda, memberikan fungsi yang sama.

E.    ELASTISITAS HARGA PENAWARAN

Elastisitas harga penawaran mengukur seberapa banyak penawaran barang dan jasa berubah ketika harganya berubah. Elastistas harga ditunjukkan dalam bentuk prosentase perubahan atas kuantitas yang ditawarkan sebagai akibat dari satu persen perubahan harga.
Koefisien Elastisitas Penawaran
Perhitungan koefisien elastisitas permintaan dengan menggunakan metode mid point adalah sebagai berikut :
Es = % perubahan kuantitas penawaran / % perubahan harga,
Atau
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiW7T8mI_eaOT7CcJnfPHdTVSHGkWriQ68uuRbJdMh1buV8R3oidHZInB0c7k0nnGUSCexZpKFsGNMiVaoPY6neZ8ZP9br9-axwG3WME9ezh-KeeprUNtasTPgct4CTXlqPcWiByJPW8kY/s320/4.JPG
Keterangan :
ES = Elastisitas penawaran
Q2 = Kuantitas penawaran setelah perubahan
Q1 = Kuantitas penawaran awal
P2 = Harga setelah perubahan
P1 = Harga awal
Jenis-jenis Elastisitas Penawaran
Ada lima jenis elastisitas penawaran :
1. Penawaran tidak elastis sempurna : elastisitas = 0. Penawaran tidak dapat ditambah pada tingkat harga berapapun, sehingga kurva penawaran (S) akan terlihat vertikal.

2. Penawaran tidak elastis : elastisitas < 1. Perubahan penawaran lebih kecil dari perubahan harga, artinya perubahan harga mengakibatkan perubahan yang relatif kecil terhadap penawaran.
3. Penawaran uniter elastis : elastisitas = 1. Perubahan penawaran sama dengan perubahan harga.
4. Penawaran elastis : elastisitas > 1. Perubahan penawaran lebih besar dari perubahan harga, artinya perubahan harga mengakibatkan perubahan yang relatif besar terhadap penawaran.
5. Penawaran elastis sempurna : elastisitas tak terhingga. Perusahaan dapat menyuplai berarapun kebutuhan pada satu tingkat harga tertentu. Perusahaan mampu menyuplai pada biaya per unit konstan dan tidak ada limit kapasitas produksi.
Faktor Penentu Elastisitas Penawaran
Ada dua faktor yang sangat penting dalam menentukan elastisitas penawaran, yaitu :
1. Kemampuan penjual/produsen merubah jumlah produksi. Ini berkaitan dengan biaya dan kapasitas produksi. Penawaran akan cenderung tidak elastis apabila salah satu dari hal-hal berikut terjadi :
- Biaya produksi untuk menaikkan jumlah penawaran besar. Misalnya jika produksi saat ini telah mencapai skala ekonomis dan biaya rata-rata minimal, maka penambahan satu unit produksi akan menambah biaya rata-rata dan mengakibatkan produksi berada dalam skala tidak ekonomis.
- Atau kapasitas produksi telah terpakai penuh, sehingga penambahan kapasitas akan memerlukan pabrik/mesin baru, misalnya, yang membutuhkan investasi besar. Sementara penawaran akan cenderung elastis jika yang terjadi adalah sebaliknya.
2. Jangka waktu analisis. Pengaruh waktu analisis terhadap elastisitas penawaran dibedakan menjadi tiga :
- Jangka waktu yang sangat singkat. Pada jangka waktu yang sangat singkat, penjual/produsen tidak dapat menambah penawarannya, sehingga penawaran menjadi tidak elastis sempurna.
- Jangka pendek. Kapasitas produksi tidak dapat ditambah dalam jangka pendek, namun perusahaan masih dapat menaikkan produksi dengan kapasitas yang tersedia dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi yang ada. Hasilnya, penawaran dapat dinaikkan dalam prosentase yang relatif kecil, sehingga penawaran tidak elastis.
- Jangka panjang. Produksi dan jumlah penawaran barang lebih mudah dinaikkan dalam jangka panjang, sehingga penawaran lebih bersifat elastis.
3. Stok persediaan. Semakin besar persediaan, semakin elastis persediaan. Ini karena produsen dapat segera memenuhi kenaikan permintaan dengan persediaan yang ada.
4. Kemudahan substitusi faktor produksi/input Semakin tinggi mobilitas mesin (atau kapital lainnya) dan tenaga kerja, semakin elastis penawaran. Semakin elastis mobilitas kapital dan tenaga kerja, semakin mudah produsen memenuhi perubahan permintaan yang terjadi. Ini karena kapital dan tenaga kerja ebih fleksibel, sehingga dapat ditambah atau dikurangi sewaktu-waktu dibutuhkan.

kriteria hasil dari perhitungan elastisitas
• Jika e melebihi 1 disebut elastic
• Jika e = 1 disebut elastis uniter
• Jika e dibawah 1 disebut inelastis

F.    KESIMPULAN

Penawaran adalah jumlah barang atau jasa yang tersedia dan dapat dijual oleh penjual pada berbagai tingkat harga, dan pada waktu tertentu. Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang ingin dan mampu dibeli oleh konsumen, pada berbagai tingkat harga, dan pada waktu tertentu. Elastisitas harga permintaan mengukur seberapa banyak permintaan barang dan jasa (konsumsi) berubah ketika harganya berubah. Elastisitas permintaan ditunjukkan dalam bentuk prosentase perubahan atas kuantitas yang diminta sebagai akibat dari satu persen perubahan harga. Elastisitas harga penawaran mengukur seberapa banyak penawaran barang dan jasa berubah ketika harganya berubah. Elastistas harga ditunjukkan dalam bentuk prosentase perubahan atas kuantitas yang ditawarkan sebagai akibat dari satu persen perubahan harga.

UCAPAN TERIMA KASIH
Yang pertama saya ucapkan terima kasih kepada Allah SWT, sebab berkat rahmat dan hidayat-Nya lah jurnal ini diselesaikan. Dan yang kedua ialah kepada semua sumber rujukan, terima kasih telah bersedia membagi ilmunya kepada saya

DAFTAR PUSTAKA

Joseph Whelan Kamil, economic supply and demand, 1996
Lori Bird, David Hurlbut, Pearl Donohoo, Karlynn Cory, and Claire Kreycik, An Examination of the Regional Supply and Demand Balance for Renewable Electricity in the United States through 2015, march 2005

Robbert e. hall and david M. Lilien, efficient wage bargains under uncertain supply and deman,

dutch diseases


DUTCH DISEASES DAN KAITANNYA DENGAN DUNIA PERTAMBANGAN DI INDONESIA
ARIEF PERDANA KUSUMAH
D62110265
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

SARI
Dutch diseases merupakan sebuah peristiwa dalam dunia ekonomi yang merujuk pada akibat yang biasanya ditimbulakan oleh berlimpahnya sumber daya alam di suatu negara. Istilah ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1977, yang merujuk pada menurunnya pertumbuhan di sektor perindustrian secara drastis akibat ditemukannya sumber gas alam yang berlimpah di Belanda. Model ekonomi yang menjelaskan mengenai fenomena ini kemudian dikembangkan oleh W. Max Corden and J. Peter Neary pada tahun 1982. Penyebab umumnya adalah eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran, khususnya tambang yang tidak diikuti oleh berkembangnya sektor manufaktur. Hal ini sangat berkaitan erat dengan sektor pertambangan, sebab sector pertambanganlah yang sedang booming pada saat ini. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pembenahan sistem pemerintahan, pengalihan investasi, dan penyokongan ekonomi ke bidang industri lain, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberdayaan sumber daya alam.
ABSTRACT
Dutch diseases is a condition in the economic world that referring to a result that is usually evoked by an abundance of natural resources in a country. This term was first proposed in 1977, which refers to the growth in the industrial sector decreased drastically due to the discovery of abundant natural gas resources in the Netherlands. Economic model that explains the phenomenon was later developed by W. Max Corden and J. Peter Neary in 1982. Common causes are the exploitation of natural resources on a large scale, especially mine which is not followed by the development of the manufacturing sector. It is very closely related to the mining sector, because mining sector that is booming at the moment. To overcome this, it needs revamping the system of government, the transfer of investment, and economic smiles to other industries, as well as increased transparency and accountability in the empowerment of natural resources.
KEYWORD : Dutch diseases, mining, and natural resources.

I.             PENDAHULUAN
Sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara memiliki kaitan yang erat, dimana kekayaan sumber daya alam secara teoritis akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi, pada kenyataannya hal tersebut justru sangat bertentangan karena negara-negara di dunia yang kaya akan sumber daya alamnya seringkali merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang rendah. Hal ini disebabkan negara yang cenderung memiliki sumber pendapatan besar dari hasil bumi memiliki kestabilan ekonomi sosial yang lebih rendah daripada negara-negara yang bergerak di sektor industri dan jasa. Di samping itu, negara yang kaya akan sumber daya alam juga cenderung tidak memiliki teknologi yang memadai dalam mengolahnya. Korupsi, perang saudara, lemahnya pemerintahan dan demokrasi juga menjadi faktor penghambat dari perkembangan perekonomian negara-negara terebut. Yang pada akhirnya akan menjadi salah satu factor penyebab dutch diseases.
II.            DUTCH DISEASES
Dalam ranah ilmu ekonomi yang disebut ”penyakit belanda” (dutch disease) adalah berkaitan dengan krisis ekonomi di Belanda tahun 1960-an, menyusul ditemukannya ladang gas alam di Laut Utara tahun 1959. Istilah itu kali pertama diperkenalkan oleh majalah The Economist tahun 1977 untuk menggambarkan kemerosotan sektor manufaktur di Negeri Kincir Angin tersebut.
Kenaikan harga komoditas primer (seperti barang tambang dan produk pertanian) akan mendorong produsen lebih berkonsentasi menggenjot produksinya karena dengan harga tinggi tentunya keuntungan yang diperoleh pun cukup menjanjikan. Kenaikan produksi pada komoditas primer membutuhkan tenaga kerja kerja yang lebih banyak, akibatnya tenaga kerja harus diambil dari sektor lainnya, seperti sektor manufaktur.
Pengaruh selanjutnya tingkat upah di sektor manufaktur menjadi meningkat karena sebagian tenaga kerja  berpindah ke sektor penghasil komoditas primer. Implikasi lebih lanjut produksi manufaktur utamanya pada corak produksi yang padat karya akan mengalami penurunan, dan itu disebut sebagai resource movement effect. Selain itu, kenaikan harga komoditas primer juga akan menaikkan pendapatan orang yang berkecimpung dalam sektor ini sehingga pengeluaran untuk barang-barang non-tradable juga meningkat.
Barang-barang yang termasuk non-tradable adalah barang yang hanya bisa dikonsumsi di tempat ia dihasilkan seperti konstruksi, transportasi, dan komunikasi. Peningkatan harga barang non-tradable akan  mendorong terjadinya apresiasi riil dari nilai tukar, akibatnya industri manufaktur menjadi tidak kompetitif dan ini yang disebut spending effect.
III.          DUTCH DISEASES DI INDONESIA
Di Indonesia sendiri Sindrom “penyakit Belanda” banyak ditemukan dalam kasus eksplotasi SDA di luar Jawa, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Daerah yang mengalami eksploitasi tambang paling parah adalah Kalsel dengan batu bara-nya, Kaltim dengan gas dan batu bara, Papua dengan tambang tembaganya, dan Sulsel dengan nikel-nya. Tidak bisa dipungkiri, sekitar 70 persen output perekonomian Papua disumbangkan oleh hanya satu perusahaan pertambangan, yaitu PT Freeport. Sementara kontribusi industri pengolahan masih relatif kecil atau bahkan mengalami deteorisasi. Pertumbuhan sektor pertambangan jauh lebih besar dibandingkan sektor industri pengolahan berbasis pertanian (agroindustry).
Demikian juga dengan Sulawesi, khususnya Sulsel dan Sultra yang mengandalkan komoditas pertambangan nikel. Perusahaan nikel terbesar di Sulsel adalah PT Inco dengan konsesi lahan yang sangat luas dan berjangka panjang. Ekspor utama Sulsel ke sejumlah negara dalam beberapa tahun terakhir sangat bergantung pada satu komoditas saja, yaitu nikel.  Perekonomian Sulsel belum juga bergerak ke resources based industry (industri berbasis SDA). Secara sektoral perekonomian Sulsel masih sangat didominasi oleh sektor perdagangan dan pertanian. Sektor industry pengolahan masih tercecer di belakang dan bahkan mengalami proses pelambatan dengan pertumbuhan yang lebih kecil dibanding sektor lainnya.
Kecenderungan yang lebih parah lagi terjadi di Kaltim, yaitu eksploitasi tambang besar-besaran hanya menyisakan problem lingkungan yang serius. Banyak yang memprediksi bahwa suatu saat Kaltim akan menjadi daerah miskin ketika rezeki migas sudah mulai menipis. Pemerintah lalai atau alpa dalam menggerakkan sektor industri manufakturnya
IV.          SOLUSI DUTCH DISEASES.
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pembenahan sistem pemerintahan, pengalihan investasi, dan penyokongan ekonomi ke bidang industri lain, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberdayaan sumber daya alam. Contoh negara yang telah berhasil mengatasi hal tersebut dan menjadikan kekayaan alam sebagai pemicu pertumbuhan negara adalah Norwegia dan Botswana.
Dan untuk di Indonesia jalan keluar yang baik menurut Muhammad Syarkawi Rauf, (Regional Chief Economist BNI/Kepala Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi Unhas) adalah, aliran investasi ke sektor pertambangan dan perkebunan di luar Jawa dan ke sektor industri ke pulau Jawa akan membuat program pemerintah mengalami kegagalan, khususnya terkait komitmen mempercepat proses industrialisasi di luar Jawa. Sulit merealisasikan rencana pemerintah untuk menempatkan Jawa hanya sebagai innovation centre atau pusat R dan D. Pola penyebaran investasi baik investasi dalam negeri maupun foreign direct investment (FDI) semakin memperkuat sindrom “penyakit Belanda” di Indonesia. Di mana sekitar Rp21,50 triliun realisasi investasi ke KTI hanya terkonsentrasi di sektor pertambangan. Sulawesi yang kebagian Rp 5,1 triliun juga didominasi investasi pertambangan.
Idealnya, investasi ke luar Jawa diarahkan pada infrastruktur dasar dan resources based industry. Pemerintah bisa mengendalikannya secara langsung tidak hanya dengan membuat aturan mengenai bea keluar ekspor SDA non-olahan yang tinggi. Pengendalian bisa dimulai dari sejak awal penerbitan izin investasinya, yaitu memprioritaskan izin investasi yang disertai oleh industri pengolahannya di luar Jawa, khususnya KTI. Jalan keluarnya adalah hilirisasi komoditas utama di setiap pulau atau merujuk pada MP3EI pada setiap koridor ekonomi. Hilirisasi adalah kegiatan mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi yang langsung bisa dijual ke konsumen akhir. Pemerintah tidak boleh hanya berada pada rantai produksi dengan nilai tambah rendah, seperti produk intermediate.
Hilirisasi komoditas utama nasional juga harus berhati-hati. Pembangunan yang terlalu berorientasi pada nilai tambah dapat melahirkan masalah baru, khususnya yang terkait ownership dari industrinya. Sebab tidak ada gunanya pemerintah ngotot membangun industri, misalnya pengolahan nikel tetapi mematikan pengusaha nikel lokal. Peralihan ownership akan berdampak negatif jika pada akhirnya industry pengolahan SDA dimiliki asing. Perusahaan pertambangan asing lebih mampu berinvestasi di industri pengolahan nikelnya dan juga komoditas strategis lainnya. Akhirnya, tidak ada gunanya jika usaha pemerintah menghindari jebakan “penyakit Belanda” hanya membuat usaha kecil kehilangan kepemilikan.
V.            KESIMPULAN
“Dutch diseases” atau sering disebut penyakit belanda merupakan sebuah peristiwa dalam dunia ekonomi yang pada hakikatnya adalah fenomena di bidang perekonomian yang merujuk pada akibat yang biasanya ditimbulakan oleh berlimpahnya sumber daya alam di suatu negara yang menyebabkan menurunnya sktor lain, sehingga kalah bersaing dengan sektor SDA yang sedang booming. Penyebab umumnya adalah eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran, khususnya tambang yang tidak diikuti oleh berkembangnya sektor manufaktur. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pembenahan sistem pemerintahan, pengalihan investasi, dan penyokongan ekonomi ke bidang industri lain, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberdayaan sumber daya alam.



UCAPAN TERIMA KASIH
Yang pertama saya ucapkan terima kasih kepada Allah SWT, sebab berkat rahmat dan hidayat-Nya lah jurnal ini diselesaikan. Dan yang kedua ialah kepada semua sumber rujukan, terima kasih telah bersedia membagi ilmunya kepada saya
DAFTAR PUSTAKA
Balázs Égert and Carol S. Leonard, Dutch Disease Scare in Kazakhstan: Is It Real?, William Davidson Institute Working Paper Number 866, March 2007
W. Max Corden , The Dutch Disease in Australia Policy Options for a Three-Speed Economy, Working Paper  No. 2011/14, November 2011
W. Max Corden, The Dutch Disease in Australia: Policy Options for a Three-Speed Economy*, Department of Economics, The University of Melbourne, Melbourne Institute Working Paper No. 5/12, February 2012